22 November 2018

Menjadi Dewasa



Tentang mendewasa, apakah umur adalah patokan dari sebuah sikap yang disebut ‘dewasa’? Bagi saya, tidak. Umur bukanlah sebuah indikator yang pas untuk mengukur seseorang bisa dikatakan sudah berada ditahap dewasa. Banyak orang sekitar kita yang berada di umur yang matang tapi secara mental belum cocok untuk menyandang predikat dewasa. Lantas, apakah saja indikator kedewasaan seseorang?

Secara pribadi, saya melihat tingkat kedewasaan seseorang dari bagaimana ia menghadapai sebuah persoalan. Apakah Ia masih melihat dari satu sisi-nya saja, ataukah sudah bisa melihat dari berbagai sisi yang lain. Mereka yang belum bisa dibilang dewasa sering melihat suatu persoalan hanya dari apa yang dialaminya, kerugian yang didapatnya tanpa tabayyun atau mengkonfirmasi apakah pihak lain benar bersalah atau ternyata ia juga bagian dari pembuat masalah itu sendiri. Seseorang yang sudah bisa dikatakan dewasa akan bijak menanggapi masalah yang terjadi, Ia tidak akan gegabah memutuskan segala sesuatunya, bersikap tenang tanpa menyalahkan pihak lain seenaknya. Ia akan introspeksi pada dirinya, mengakui letak kesalahannya bila ia memang bersalah bukan menuduh dan mengumbar aib saudaranya.

Selain itu, tingkat kedewasaan juga bisa dilihat dari tutur kata seseorang, bagaimana ia bisa menempatkan kalimat-kalimat yang diutarakannya di waktu dan tempat yang tepat. Karena seperti kata pepatah “mulutmu harimaumu”. Lidah tidak bertulang tapi lebih tajam dari pedang. Banyak perdebatan dan kehancuran terjadi berawal dari lidah yang mengeluarkan kata-kata yang tidak berkenan. Kita boleh bercanda dengan sesama teman, tapi haruslah diingat jangan sampai kelewatan. Apa yang dianggap lucu oleh kita, kadang menyakitkan bagi orang lain. Jadi bijaklah dalam berkelakar, tidak semua topik layak untuk dijadikan candaan.

Dewasa berarti harus dapat mengontrol emosinya. Hari ini bukan saatnya bertengkar hanya demi hal-hal kecil apalagi sampai berujung ke pertengkaran fisik. Bukan lagi masanya pertengkaran diselesaikan dengan cara anak SD atau dengan cara premanisme. Masih banyak cara beradab untuk menyelesaikannya. Seseorang yang berjiwa besar pastinya akan memilih cara-cara berkelas tanpa harus terjadi pertumpahan darah. Mirisnya, dinegeri kita tercinta saat ini orang-orang yang mengaku dewasa tapi tidak tercermin dalam kepribadiannya. Alhasil, banyaknya persoalan tidak diselesaikan secara baik-baik. Ya, cekcok masalah kecil dibawa ke ranah publik, saling hujat di media sosial karena perbedaan pandangan, menebar hoax, dan masih banyak lagi.

Honestly, tulisan ini adalah sebuah renungan untuk kita semua. Untuk kita yang mengaku memiliki pandangan dewasa. Terutama untuk saya secara pribadi. Dalam masa transisi dari fase remaja menuju dewasa. Banyak hal yang harus dipelajari untuk benar-benar bisa bersikap dewasa dan bijak dalam menanggapi suatu peristiwa. Bagi saya tidak ada orang yang akan stabil di masa dewasanya, akan ada saat dimana ia kembali bersikap labil layaknya pada fase remaja dan anak-anak dulu. Namun, apakah itu akan bertahan selamanya? Tentu tidak. Yang bisa kita semua lakukan hanyalah mengontrol diri kita untuk tetap bersikap dan berprilaku sesuai dengan koridor yang berlaku, dan kembali lagi menjadi pribadi yang dewasa. Mari mendewasa bersama!!!