Setiap perjalanan selalu meninggalkan
kenangan, cerita dan pelajaran -HA
Istana Siak nampak dari kanan depan |
Bagi aku, Siak adalah the hidden paradise-nya Riau. Butuh
waktu sekitar tiga jam dari pusat kota Pekanbaru dengan melalui beribu hektar perkebunan
sawit dikanan dan kiri jalan yang berkelok dan sedikit berbatu untuk sampai di
kabupaten Siak. Kalau mau dinyanyiin ala lagu anak-anak tuh kira-kira “ Pegi-pegi ke kota Siak, jauh- jauh
sekali…Kiri kanan kulihat saja banyak pohon sawitnyaa aaa, kiri kanan kulihat
saja banyak pohon sawitnya”. Yah kurang lebih gitu yak. Sebenarnya
enggak terlalu jauh sih, cuman kita terbiasa pergi dengan durasi waktu selama
itu untuk keluar Provinsi. Kalau di analogikan di Jogja, kita udah sampai
Semarang (Jateng) atau Magetan (Jatim). Tapi ini masih dalam satu Provinsi
Riau, alangkah luasnya tanah Sumatra.
Kenapa memilih
Siak ???
Lagi-lagi ini semua karena promosi sang MC comel
bedelau saat pembukaan FSDKN XVIII di Universitas Riau dan Bapak Kepala Dinas Pariwisata
Provinsi Riau. Mereka memaparkan mengenai satu istana yang menjadi backdrop panggung kala itu. Istana Siak
namanya. Disana terdapat alat musik yang sangat langka, KOMET. Kabarnya sih,
cuman ada dua di dunia. Di Istana Siak dan di Museum Jerman. Nah, kita jadi
penasaran bagaimana bentuk komet itu sesungguhnya. Apakah sama dengan komet
dilangit??? Iya, sama karena mereka adalah bintang dari jenisnya sendiri. Opotoh,
Na…
Alat musik Komet sejenis gramophone dibawa oleh Sultan SIAK ke XI tahun 1896 selepas melawat ke Eropa |
Siak,
kota tempat peradaban melayu di tanah Sumatera, tempat salah satu jalur kawasan
perdagangan Internasional yang menghubungkan Riau, Malaysia dan Singapura.
Memiliki sumber daya alam yang melimpah dari sektor migas, pertanian,
perkebunan dan pariwisata. Itu sedikit informasi tentang profil Siak. Nah,
nggak heran kan kalau kita menjatuhkan hati buat melancong di negeri yang dulu
menyumbang ribuan guldennya demi terciptanya Negara Republik Indonesia.
Kita
memulai perjalanan dari UNRI sekitar pukul satu siang, setelah acara FSDKN
selesai dan melaksanakan sholat dzuhur di Masjid Arfaunnas. Kita memilih jalur
perjalanan alternatif untuk menghindari kemacetan, yang bisa aku baca dari baliho
dijalan kita melewati Kabupaten Kampar dan seterusnya perkebunan sawit yang
luas. Satu jam perjalanan kita masih asik menikmati pemandangan luasnya
perkebunan, berlanjut di fase yang mulai membosankan kita setengah terlelap dan
berharap bangun sudah sampai tujuan. Namun, apalah dikata mobil masih melaju
menyusuri jalanan yang berliku. Dua jam tiga puluh menit kita akhirnya memasuki
kawasan kabupaten Siak. Kita disambut dengan megahnya Jembatan gantung Sultanah
Lathifah yang aku taksir panjangnya hampir 1 kilometer (CMIIW), dari atas
jembatan kita bisa melihat kapal yang melintasi Sungai Siak yang cukup jernih
dikelilingi oleh hutan yang rimbun dan masih asri. Di sudut-sudutnya dapat
terlihat atap-atap gedung perkantoran menyembul dari pepohonan hijau. Sungguh
indahnya. Tata kotanya sangatlah kental dengan budaya melayu, warna keemasannya
tak luput dari pandangan mata.
Tangga menuju istana ke lantai dua |
Kita menuju ke destinasi utama, yaitu Istana
Siak. Letaknya tepat berada didepan alun-alun Kota yang menghadap langsung ke
Sungai Siak. Tiket masuknya sekitar sepuluh ribu rupiah. Tapi sayang kita datang
di tiga puluh menit sebelum Istana ditutup. Jadi, waktu untuk berkeliling
Istana sangatlah singkat. Saran nih, buat temen-temen yang mau main ke Istana
Siak sebaiknya time managementnya dipasin
banget. Kalau dari Pekanbaru aku saranin dari pagi deh karena perjalanannya
juga jauh dan supaya keliling-keliling Siak-nya lebih puas serta bisa explore lebih banyak tempat-tempat
indahnya. Di Istana Siak kita menemukan apa yang kita cari selama ini, Komet. Bentuknya
aneh dan aku bingung gimana cara maininnya. Tapi, setidaknya rasa penasarannya
telah terbayar dengan menatapnya langsung. Didalam Istana banyak barang-barang
peninggalan zaman dahulu. Ada alat pemutar piringan hitam (vinyl) yang
bentuknya unik sekali. Ada baju-baju raja, piagam penghargaan dan masih banyak
lagi. Istana ini seperti Museum tapi berbentuk rumah, ada dua lantai namun saat
itu kita belum berkesempatan untuk naik ke lantai atasnya. Karena kita telah
diperingatkan petugas Istana yang akan menutup tempat ini, maka kita segera
untuk keluar. Memotret pemandangan sekitar istana menjadi pilihan, bergaya bak
putri raja juga tak anyal dilakukan. hewhew.
Istana Siak nampak dari depan |
Selanjutnya, kita berjalan menyusuri alun-alun Kota.
Di minggu sore itu banyak warga yang menghabiskan waktu disana. hiburan
anak-anak begitu banyak macamnya, dari mobil-mobilan listrik, scooter dan taman-taman bermain mini.
Aku dan kawan-kawan memilih untuk pergi menepi, menuju pavilion dipinggir sungai.
Kita bisa melihat jembatan Sultanah Lathifah dengan background sunset yang menawan. Karena waktu semakin sore kita
memutuskan untuk segera kembali. Namun, kita tak melewatkan untuk berhenti
sejenak di tengah Jembatan saat sinar mentari benar-benar akan memudar. Senja
terakhir di Riau, bisik hatiku. Take me
back here, soon. Perjalanan pulangpun dimulai, kembali menyusuri jalan yang
mulai gelap karena minim penerangan, sehingga membuat kita juga ingin ikut
menutup mata. Kita sampai kembali didaerah Panam Regency, Pekanbaru pukul
Sembilan malam. segera kita bergegas untuk membersihkan diri dan bersiap untuk
sholat lalu beristirahat karena besok pagi kita harus kembali pulang ke Jogja. Time is up, gaes. Jogja telah menanti, deadline tugas memanggil, ujian telah
didepan mata. Back to our routine
activities. Kembali pada realita, berkompromi pada kenyataan yang ada,
karena liburan (bukan sekedar liburan) akan segera berakhir. Terimakasih kepada
Shofi sekeluarga yang sudah mengenalkan Siak ke kita. Terimakasih para
promotor-promotor kunjungan ke Riau ini. InsyaAllah amal baik kalian dibalas
oleh Allah SWT. Aamiin. Semoga suatu saat bisa kembali menginjakkan kaki di
tanah Melayu.
Masyarakat menghabiskan waktu senja di alun-alun Kota tepat didepan Istana Siak |
Jembatan yang membelah sungai Siak di malam hari |